Jurnal predator muncul seiring meningkatnya kebutuhan akademisi untuk memenuhi tuntutan publikasi, terutama dalam sistem pendidikan tinggi yang mengaitkan kenaikan jabatan akademik maupun kelulusan mahasiswa pascasarjana dengan jumlah karya ilmiah yang dipublikasikan. Jurnal predator memanfaatkan kebutuhan tersebut dengan menawarkan publikasi cepat, biaya yang relatif tinggi, tetapi mengabaikan aspek kualitas dan kredibilitas. Dalam bidang hukum, hal ini sangat berbahaya karena artikel hukum seharusnya melewati seleksi ketat agar tidak menimbulkan bias maupun pemahaman keliru terhadap norma hukum yang berlaku.
Perkembangan jurnal predator semakin pesat setelah era digitalisasi dan open access. Banyak penerbit predator menggunakan website yang menyerupai jurnal bereputasi, lengkap dengan ISSN, dewan redaksi fiktif, serta tampilan profesional. Namun, yang membedakan adalah absennya proses peer review yang sesungguhnya. Bagi akademisi hukum, hal ini menjadi jebakan karena artikel yang dipublikasikan tidak melalui telaah kritis, sehingga kualitasnya meragukan.
Kecenderungan ini semakin diperkuat dengan tekanan “publish or perish” di kalangan dosen dan peneliti hukum. Kebutuhan untuk mempublikasikan artikel sebagai syarat kenaikan jabatan fungsional membuat sebagian akademisi tergoda untuk memilih jalur cepat. Akibatnya, tidak sedikit publikasi hukum yang lahir dari jurnal predator namun tetap digunakan sebagai bahan ajar atau rujukan penelitian.
Selain itu, jurnal predator juga kerap menargetkan mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan tesis atau disertasi. Dengan biaya tertentu, mahasiswa dapat dengan mudah menerbitkan artikel mereka, tanpa mengetahui bahwa jurnal tersebut tidak memiliki reputasi akademik. Hal ini tentu merugikan karena karya mereka tidak akan diakui dalam forum akademik internasional.
Fenomena ini menunjukkan bahwa konsep jurnal predator bukan hanya persoalan akademik belaka, melainkan juga menyangkut integritas moral, kualitas pendidikan, dan kredibilitas hukum sebagai disiplin ilmu. Tanpa kesadaran kritis, dunia hukum bisa terjebak pada tradisi publikasi yang hanya mementingkan kuantitas dibanding kualitas.
Baca Juga : Jurnal Predator Bidang Kesehatan: Dampak, Penyebab, Strategi Pencegahan, Peran Akademisi, dan Solusi Kolaboratif untuk Menjaga Integritas Ilmiah
Dampak Jurnal Predator terhadap Dunia Akademik dan Bidang Hukum
Dampak jurnal predator terhadap akademisi hukum sangat luas dan kompleks. Pertama, ia merusak integritas akademik. Artikel yang diterbitkan melalui jurnal predator sering kali tidak memenuhi standar metodologis yang ketat. Hal ini menyebabkan argumentasi hukum yang dibangun menjadi lemah, bahkan bisa menyesatkan. Jika tulisan seperti ini dijadikan rujukan, maka kualitas pendidikan hukum secara keseluruhan akan menurun.
Kedua, jurnal predator merugikan penulis itu sendiri. Banyak akademisi yang membayar biaya publikasi tinggi dengan harapan karya mereka diakui, padahal publikasi di jurnal predator tidak masuk ke dalam indeksasi bereputasi seperti Scopus atau Web of Science. Akibatnya, karya tersebut tidak memiliki nilai tambah dalam karier akademik mereka. Kerugian finansial ini menjadi bukti bahwa jurnal predator lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi dibanding kontribusi ilmiah.
Ketiga, dampak yang lebih luas adalah kerugian bagi lembaga pendidikan tinggi. Jika dosen-dosennya banyak menerbitkan artikel di jurnal predator, maka reputasi universitas tersebut akan menurun. Akreditasi institusi pun bisa terancam karena salah satu penilaian akreditasi adalah kualitas publikasi dosen dan mahasiswa.
Keempat, dalam konteks hukum, bahaya jurnal predator sangat serius. Artikel hukum yang tidak berkualitas dapat digunakan sebagai justifikasi kebijakan, putusan pengadilan, atau argumentasi hukum yang berdampak pada masyarakat luas. Misalnya, jika sebuah penelitian tentang interpretasi undang-undang diterbitkan di jurnal predator, hasilnya bisa memengaruhi perumusan hukum atau regulasi secara keliru.
Kelima, dampak etis dan psikologis tidak kalah penting. Akademisi yang terjebak dalam jurnal predator merasa tertipu, kecewa, dan bahkan enggan melanjutkan penelitian. Hal ini menciptakan budaya akademik yang tidak sehat, di mana penelitian dilihat hanya sebagai formalitas administratif, bukan sebagai kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan praktik hukum.
Regulasi dan Kebijakan Penanganan Jurnal Predator
Fenomena jurnal predator tidak bisa dibiarkan berkembang bebas karena dampaknya yang merugikan dunia akademik dan hukum. Untuk itu, berbagai regulasi dan kebijakan telah dirumuskan di tingkat internasional maupun nasional.
Beberapa langkah regulasi penting adalah:
- Penerbitan daftar hitam (blacklist) jurnal predator: Jeffrey Beall, seorang pustakawan dari Amerika Serikat, pernah membuat daftar jurnal predator yang dikenal dengan sebutan Beall’s List. Meskipun daftar ini sudah tidak diperbarui secara resmi, banyak akademisi masih menggunakannya sebagai acuan.
- Kebijakan indeksasi: Lembaga indeks bereputasi seperti Scopus, Web of Science, dan DOAJ memperketat seleksi jurnal agar jurnal predator tidak masuk ke dalam sistem mereka.
- Regulasi pemerintah di bidang pendidikan tinggi: Di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mengeluarkan pedoman khusus mengenai publikasi ilmiah. Publikasi di jurnal predator tidak akan diakui sebagai syarat kenaikan jabatan fungsional dosen.
- Penguatan peran lembaga etika penelitian: Perguruan tinggi diharapkan memiliki komite etik yang dapat memverifikasi kualitas publikasi dosen dan mahasiswa.
Dengan regulasi yang jelas, diharapkan akademisi hukum lebih berhati-hati dalam memilih jurnal untuk publikasi.\

Tantangan Etika Akademik dan Aspek Moral dalam Publikasi Ilmiah
Selain regulasi, permasalahan utama dalam jurnal predator adalah aspek etika dan moral akademik. Terdapat beberapa tantangan besar yang perlu diperhatikan:
Publikasi di jurnal predator bukan hanya soal kelalaian, melainkan sering kali terkait dengan kesengajaan. Banyak penulis yang mengetahui kualitas jurnal tersebut rendah, tetapi tetap memilihnya demi kepentingan pribadi. Hal ini menunjukkan lemahnya kesadaran etika akademik.
Tantangan etika yang muncul antara lain:
- Kecenderungan akademisi mengutamakan kuantitas dibanding kualitas
- Kurangnya pemahaman mahasiswa dan dosen muda tentang jurnal bereputasi
- Dorongan institusi yang hanya menilai jumlah publikasi tanpa mempertimbangkan mutu
- Potensi manipulasi data dan penelitian asal-asalan yang tetap dipublikasikan
- Pengabaian terhadap tanggung jawab sosial ilmu hukum dalam membangun masyarakat
Tantangan moral ini membuat peran dosen senior, mentor, dan lembaga pendidikan sangat penting dalam mendidik generasi akademisi hukum agar lebih berhati-hati dalam publikasi.
Strategi Pencegahan dan Upaya Meningkatkan Kualitas Publikasi Hukum
Untuk mencegah meluasnya praktik jurnal predator, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan individu, institusi, dan pemerintah.
Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan antara lain:
- Pendidikan literasi publikasi ilmiah: Memberikan pelatihan kepada mahasiswa dan dosen tentang cara membedakan jurnal predator dan jurnal bereputasi.
- Mendorong publikasi di jurnal nasional terakreditasi: Pemerintah perlu memperkuat akreditasi jurnal lokal agar menjadi wadah alternatif yang kredibel.
- Kolaborasi internasional: Akademisi hukum perlu menjalin kerja sama riset dengan universitas luar negeri untuk meningkatkan kualitas publikasi.
- Penyediaan database resmi jurnal bereputasi: Lembaga pendidikan tinggi harus menyediakan akses ke jurnal bereputasi agar peneliti tidak mudah tergoda jurnal predator.
- Penghargaan terhadap kualitas, bukan hanya kuantitas: Sistem penilaian jabatan fungsional dosen harus menekankan mutu penelitian, bukan sekadar jumlah publikasi.
Dengan langkah-langkah tersebut, integritas akademik dalam bidang hukum dapat lebih terjaga.
Baca Juga : Daftar Blacklist Jurnal Predator: Pengertian, Ciri-Ciri, Dampak bagi Akademisi, Strategi Menghindarinya, dan Peran Pemerintah serta Lembaga Pendidikan dalam Menanggulangi Ancaman Publikasi Ilmiah Palsu
Kesimpulan
Fenomena jurnal predator dalam bidang hukum merupakan persoalan serius yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Kehadirannya tidak hanya merugikan individu akademisi, tetapi juga mengancam kredibilitas pendidikan tinggi, merusak reputasi universitas, bahkan bisa memengaruhi pengambilan keputusan hukum yang berdampak pada masyarakat luas.
Upaya pencegahan memerlukan regulasi yang jelas, penguatan etika akademik, serta strategi pendidikan literasi publikasi yang menyeluruh. Akademisi hukum dituntut untuk memiliki kesadaran tinggi bahwa setiap publikasi bukan sekadar formalitas administratif, melainkan sebuah kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu hukum dan keadilan sosial.
Dengan komitmen bersama antara individu, institusi, dan pemerintah, praktik jurnal predator dapat ditekan. Hanya dengan integritas akademik yang kuat, dunia hukum mampu menjaga kepercayaan publik dan menjalankan fungsinya sebagai pilar penting dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.
Dan jika kamu membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan tugas makalah maupun konsultasi lebih lanjut tentang jasa kerjain tugas kuliah lainnya, maka kerjain.org siap membantu. Hubungi Admin Kerjain.org dan ketahui lebih banyak layanan yang kami tawarkan.